Jumat, 09 Januari 2009

Hak Konsumen Masih Terabaikan

JAKARTA, JUMAT — Tahun 2008, hak-hak konsumen masih terabaikan. Berbagai persoalan mendasar masih saja merugikan konsumen, dan lebih parah dari tahun sebelumnya. Berbagai pasokan kebutuhan pokok acap mengalami krisis. Kalau pun ada, kualitasnya tidak memenuhi standar aman untuk dikonsumsi.

"Yang mendasar adalah jaminan ketersediaan. Kalau barang tidak ada, harga dinaikkan. Ini menjadi masalah, terutama terkait dengan elpiji, seperti tidak ada tanggung jawab pemerintah," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Huzna G Zahir saat memaparkan Catatan Perlindungan Konsumen 2008 dan Teropong 2009 di Jakarta, Jumat (9/1).

Huzna menyatakan, tahun 2008 ditutup dengan kelangkaan bahan bakar elipiji yang merupakan bahan bakar rumah tangga andalan keluarga, terlebih setelah adanya program konversi minyak tanah ke elpiji. Kenyataannya, elpiji lenyap dari pasaran. Banyak alasan diberikan Pertamina dan pemerintah.

Penurunan harga bahan bakar minyak bersubsidi, premium dan solar, menurut Huzna, tidak cukup menggembirakan masyarakat. Kebijakan menurunkan harga BBM patut diapreasiasi. Namun, penurunan harga BBM tidak dinikmati masyarakat bawah karena pengusaha transportasi enggan menurunkan tarif.

"Ketika harga BBM turun, mereka berkokok bahwa BBM tidak signifikan untuk biaya produksi. Harga onderdil lebih signifikan, kata asosiasi pengusaha angkutan darat Organda," kata Huzna.

Sepanjang 2008, masyarakat juga dibuat khawatir atas kondisi pasokan pangan. Krisis pangan global seolah menjadi pembenaran melonjaknya harga berbagai bahan pangan seperti beras, kedelai, dan minyak goreng.

"Sebenarnya, Indonesia tidak perlu ikut terkena krisis apabila kebijakan pangan pemerintah lebih mendahulukan peningkatan produksi dalam negeri ketimbang membiarkan impor," kata Huzna.

Di samping itu, khusus terkait kedelai, impor yang setiap tahun selalu meningkat memberikan peringatan lain bagi semua konsumen. Kata Huzna, kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat dapat dipastikan merupakan kedelai transgenik. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Protokol Cartagena dan mempunyai Undang-Undang Pangan dan PP Label dan Pangan yang mengamanatkan kajian keamanan dan pelabelan produk transgenik, pada kenyataannya masih belum diterapkan sampai saat ini. Belum ditetapkannya Komite Keamanan Hayati selalu menjadi alasan untuk menunda penerapan pelabelan pangan transgenik.

Ketidakamanan pangan juga masih menjadi isu sentral di sektor pangan. Bahkan, variasinya lebih luas lagi. Temuan susu formula mengandung bakteri Enterobacter Sakazaki, produk impor susu dan turunannya yang mengandung melamin cukup menggegerkan, terutama konsumen yang memiliki bayi dan balita. Kasus lain yang menunjukkan makin "kreatifnya" orang dalam berusaha adalah ditemukannya produk pangan daur ulang.

"Produk pangan yang sudah kadaluarsa atau sisa-sisa makanan restoran diolah dan diperjualbelikan kembali," kata Huzna. Jelas ini memprihatinkan konsumen Indonesia.

Tidak ada komentar: