Senin, 29 Desember 2008

Masa Sulit untuk Komoditas di 2009


London - Harga-harga komoditas akan menghadapi masa-masa sulit akibat resesi yang akan membayangi perekonomian global di tahun 2009. Termasuk harga minyak yang akan terus mendapat tekanan di awal-awal tahun.

"Menghadapi tahun 2009, kami percaya bahwa beberapa harga komoditas akan melampaui penurunannya dalam merespons pelemahan aktivitas ekonomi yang paling buruk sejak era 'Great Depression'," ujar analis Deutsche Bank, Michael Lewis seperti dikutip dari AFP, Senin (29/12/2008).

Harga minyak mentah dunia akan menghadapi tekanan di awal-awal tahun, sebelum akhirnya akan mencapai stabilitasnya di tahun 2009. Harga minyak diprediksi masih akan menghadapi masa sulit setelah gejolak yang berlangsung di tahun 2008.

Seperti diketahui, harga minyak mentah bergerak sangat bergelombang di tahun 2008 ini. Harga minyak mengawali tahun 2008 di level US$ 95 per barel. Dan harga minyak untuk pertama kalinya menembus US$ 100 per barel pada 2 Januari 2008.

Berbagai pemicunya adalah gejolak di Nigeria yang merupakan salah satu produsen utama, serta masalah suplai di beberapa pasar kunci AS. Termasuk pula masalah volatilitas pergerakan dolar AS.

Harga terus meroket ke US$ 110,120,130 hingga rekor baru tercipta di US$ 147 per barel pada 11 Juli 2008. Pada saat itu, kontrak minyak jenis light menembus US$ 147,27 per barel, sementara kontrak London untuk minyak Brent menembus US4 147,50 per barel.

Namun setelah itu, harga meluncur tajam seiring krisis finansial global yang mengakibatkan resesi menjamur di berbagai belahan dunia. Harga minyak sempat mencapai titik terendahnya di bawah US$ 33 per barel.

Dan Pada penutupan perdagangan di New York Merchantile Exchange akhir pekan lalu, kontrak minyak Februari ditutup naik 2,36 dolar ke level US$ 37,71 per barel. Di London, minyak jenis Brent juga naik 1,76 dolar ke level US$ 38,37 per barel.

"Kami memperkirakan harga minyak di awal 2009 masih akan mendapatkan tekanan karena melemahnya proyeksi permintaan serta akibat pelemahan ekonomi dunia yang terus berlanjut," ujar Nimit Khamar, analis dari Sucden di London.

"Di akhir kuartal II-2009, kami memperkirakan harga akan stabil dan mencapai harga dasar, karena OPEC dapat menerapkan rencana penurunan produksi dan terus memangkas produksinya lebih lanjut," tambahnya.

Setelah harga minyak anjlok tajam, OPEC sudah menurunkan produksinya selama 3 kali yakni pada September, Oktober dan Desember. Namun nyatanya, harga tak bergerak bahkan terus meluncur ke bawah karena data-data yang semakin memperkuat melemahnya permintaan.

Dalam pertemuan terakhirnya, OPEC memutuskan menurunkan produksi hingga 2,2 juta barel atau yang terbesar dalam sejarah menjadi 24,85 juta barel.

Seiring proyeksi jatuhnya harga-harga komoditas, para ekonom juga mulai mengkhawatirkan munculnya deflasi. Jika itu terjadi, maka perekonomian dunia pun bisa semakin menderita, padahal masih harus menghadapi masalah ketatnya likuiditas.

"2008 akan menjadi salah satu tahun yang paling bergejolak dan sulit untuk minyak," ujar Peter Beutel, analis dari konsultan energi Cameron Hanover.

"Ini adalah sebuah tahun yang dimulai dengan melonjaknya harga minyak dan semuanya membuat inflasi terburuk dalam 3 dekade terakhir. Namun 2008 diakhiri dengan ledakan deflasi dan resesi terburuk dalam 7 dekade terakhir," imbuhnya.

Merrill Lynch memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran US$ 50 per barel. Sementara Deutsche Bank memperkirakan harga berada di kisaran US$ 47,50 per barel, atau lebih rendah dari proyeksi semula US$ 60 per barel.

(qom/qom)

Tidak ada komentar: