Senin, 29 Desember 2008

Kebijakan Ekonomi SBY-JK Dinilai Miskin Terobosan


Jakarta - Kebijakan ekonomi pemerintahan SBY-JK dianggap sangat miskin terobosan. Sementara tim ekonominya dinilai memiliki kemampuan prediksi yang buruk.

Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi dari Komite Indonesia Bangkit, Hendri Saparini, dalam diskusi ekonomi akhir tahun pemerintahan SBY-JK, di Hotel Acacia, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (29/12/2008).

"Tim ekonomi SBY-JK sangat miskin terobosan kebijakan yang berpihak kepentingan nasional. Ini karena tidak mau atau tidak mampu. Menurut saya, ini karena tidak mau, maka tidak mampu untuk mengubah kebijakan ekonomi," kata

Selain itu, lanjut Saparini, prediksi tim ekonomi pemerintahan SBY-JK begitu lemah dan itu bisa dilihat dari banyaknya revisi dalam APBN.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi SBY-JK tidak dibarengi dengan kesiapan
mengatasi krisis yang lebih berat di tahun mendatang. Ini disebabkan, prediksi untuk penyelamatan dampak krisis ekonomi global hanya difokuskan pada sektor finansial, bukan sektor riil.

"Prediksi dampak krisis, tim ekonomi menyatakan krisis finansial bisa dilokalisasi di sektor itu. Itu salah, padahal ada keterkaitan perdagangan AS dengan negara Asia Timur sangat besar pengaruhnya," jelasnya.

Seharusnya, Saparini menambahkan, pemerintahan SBY-JK seharusnya punya sikap tegas dalam memprediksi pertumbuhan ekonominya dan tidak membubuhi dengan embel-embel yang bermuatan kampanye.

Sementara pengamat ekonomi dari INDEF, Fadhil Hasan mengatakan, keberhasilan dan ketidakberhasilan kinerja SBY-JK bisa dilihat bila pemerintah bisa mengurangi kemiskinan, pengangguran dan pertumbuhan yang berkualitas (menyerap tenaga kerja) serta menurunkan harga sembako.

Namun Fadhil menilai, janji-janji pemerintah untuk menaikan pertumbuhan, mengentaskan kemiskinan, pengangguran dan membuka lapangan kerja tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Fadhil mengungkapkan, indikator penurunan kemiskinan di era SBY sangat fluktuatif 15,4 persen di 2008 dan 17,6 persen di 2006. Namun untuk tahun 2009 diperkirakan bertambah karena maraknya PHK.

Demikian pula soal angka penurunan pengangguran pada tahun 2005-2008 yang diklaim menurun dari 12 persen menjadi 8,6 persen sangat diragukan. Pasalnya, bila dilihat kondisi tenaga kerja di bidang pertanian, perdagangan, hotel dan restoran akan terlihat penyerapan tenaga kerjanya sangat rendah.

Saparini menilai, pemerintahan SBY-JK kurang berpihak apda sektor riil. Namun untuk pasar finansial, terlihat sangat berpihak. Sebagai gambaran, pemerintah mengeluarkan program buy back sebesar Rp 24 triliun untuk mengatasi anjloknya IHSG.

Saparini menilai kebijakan itu salah karena dana sebesar itu seharusnya bisa didorong untuk ekonomi sektor riil yang mampu menggerakan ekonomi dan berbeda dengan dunia pasar modal yang belum tentu bisa menggerakan sektor riil.

(zal/qom)

Tidak ada komentar: