Gambaran pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2009 semakin suram saja. Pada Desember 2008, dunia masih percaya bahwa perekonomian masih bisa tumbuh minimal 2,2 persen, namun kini ekonomi global semakin tertekan dan mungkin hanya bisa tumbuh maksimal 0,5 persen.
Dampaknya terasa langsung ke perekonomian regional di Asia, lalu Asia Tenggara, dan akhirnya menerpa Indonesia. Perdagangan luar negeri sulit diharapkan menjadi salah satu motor penggerak perekonomian. Dengan kondisi itu, pemerintah pun tak kuasa berjanji untuk mendorong pertumbuhan ekspor ke level 5 persen di atas nilai ekspor 2008. Mereka mengubah target pertumbuhan ekspor pada 2009 ini menjadi maksimal 2,5 persen, bahkan sangat mungkin terpuruk ke level 1 persen.
Tanda-tandanya sudah cukup jelas dengan hanya melihat aktivitas perdagangan di pelabuhan paling sibuk di Indonesia, yakni Tanjung Priok. Transaksi ekspor impor di pelabuhan yang menangani 70 persen transaksi ekspor impor nasional ini makin sepi saja.
Dampaknya sangat jelas, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang semula direncanakan pada kisaran 4,5-5,5 persen dengan nilai tengah 5 persen, diubah menjadi kisaran 4,5-5 persen dengan kemungkinan terbesar 4,7 persen. Koreksi ini dilakukan pemerintah hanya dalam satu pekan. Terakhir pada Rapat Kerja dengan Panitia Anggaran DPR, 12 Februari 2009, pemerintah juga menunjukkan sikap pesimistis pada pertumbuhan 4,7 persen, dan ada kemungkinan direvisi lagi ke posisi 4,2-4,3 persen.
Banyak syarat
Target-target pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa dicapai dengan banyak syarat yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah ada sedikit pertumbuhan investasi, penggelontoran belanja pemerintah dalam jumlah besar minimal tumbuh 10,4 persen lebih banyak dari 2008, dan konsumsi rumah tangga yang menjadi andalan utama, setidaknya harus tumbuh 4,8 persen dibandingkan dengan 2008.
Kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi berasal dari konsumsi rumah tangga, yakni 70 persen dari produk domestik bruto (PDB), kemudian belanja pemerintah 10 persen, dan investasi sekitar 15 persen, sisanya dari ekspor.
Jadi, seperti diungkapkan Menteri Keuangan dan Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, andaikan hanya konsumsi rumah tangga yang tumbuh sesuai target dan sektor lainnya nol, itu sudah cukup mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2009 ke level 3,5 persen.
Namun, pertumbuhan ekonomi 3,5 persen tidaklah cukup karena Indonesia butuh lapangan kerja baru dalam jumlah besar. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menghitung, setiap pelambatan ekonomi 0,5 persen, ada 50.000 pekerja yang diberhentikan (PHK). Jika ekonomi tumbuh 4,5 persen, jumlah pekerja yang diberhentikan bisa mencapai 200.000 orang. Jadi, jika ekonomi hanya tumbuh 3,5 persen, maka jumlah PHK bisa menenggelamkan 300.000 orang ke jurang kemiskinan baru.
Bappenas juga mencatat, setiap pertambahan laju pertumbuhan ekonomi 0,5 persen akan menambah pertumbuhan kesempatan kerja baru sekitar 578.000. Jika ekonomi tumbuh 4,5 persen, pertumbuhan kesempatan kerjanya mencapai 1,53 persen dari total angkatan kerja yang mencapai sekitar 170 juta orang. Dengan demikian, jika ekonomi hanya tumbuh 3,5 persen akan ada sekitar 1,156 juta lapangan kerja yang tidak tercipta.
Oleh karena itu, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Sebab, dengan menyuruh semua penduduk berbelanja sepenuh hati pun, ekonomi hanya tumbuh 3,5 persen dan itu hanya cukup menciptakan 4,046 juta lapangan kerja baru, sangat tidak memadai dibandingkan dengan tingkat pengangguran yang bisa mencapai 8,6 persen dari angkatan kerja.
Akan tetapi coba tengok realitas di DPR. Dalam beberapa kali pemaparan pemerintah tentang aksi-aksi yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi krisis perekonomian global, program- program yang bisa langsung memperkuat konsumsi masyarakat justru ditentang. Program kucuran dana langsung seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) malah dicurigai sebagai upaya pemerintah yang berkuasa untuk berkampanye.
Murni masalah ekonomi
”Pada saat krisis, justru program seperti BLT dan PNPM yang perlu diperkuat. Namun, justru program ini yang banyak ditentang. Seseorang harus meyakinkan DPR bahwa saat ini ada masalah murni ekonomi, yakni memastikan ekonomi tumbuh, bukan masalah politik,” ujar Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) Raden Pardede.
Penguatan BLT dan PNPM dibutuhkan agar daya beli masyarakat miskin tertolong. Jika daya beli menguat, konsumsi rumah tangga bisa dipastikan mencapai titik tertinggi yang diperkirakan pemerintah, yakni 4,8 persen.
Penguatan daya beli juga perlu dilakukan untuk memastikan program pemberdayaan masyarakat, seperti kucuran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disiapkan sekitar Rp 34 triliun bisa sukses. Sebab KUR hanya bisa sukses jika bisnis-bisnis skala mikro dan kecil ada pembelinya.
Contoh buruk terjadi di China, masyarakat miskin enggan memanfaatkan program sejenis KUR karena mereka tahu, apa pun bisnis yang mereka buat tidak akan ada pembelinya. Setidaknya itu yang dilaporkan majalah The Economist edisi 31 Januari 2009, dalam paparannya tentang ”Asia’s shock”.
Di posisi ini, paket stimulus fiskal senilai Rp 71,3 triliun yang disiapkan pemerintah juga menuai protes kalangan DPR yang setuju pada keampuhan kucuran uang tunai ke masyarakat sebagai obat sementara memperkuat daya beli. Pasalnya, stimulus fiskal ini didominasi insentif berupa pemotongan pajak, bukan transfer dana langsung ke masyarakat.
Tidak sebanding
Salah satu insentif itu adalah penghematan pajak sebagai dampak penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan, PPh pribadi, dan perubahan standar minimum Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang bernilai Rp 43 triliun. Itu setara 60,3 persen dari total stimulus Rp 71,3 triliun. Ini tidak sebanding dengan aliran dana yang benar-benar disebarkan ke masyarakat senilai Rp 10,2 triliun, atau yang disebut pemerintah sebagai stimulus berupa tambahan proyek infrastruktur.
Atas dasar ini, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng, mendesak pemerintah menambah alokasi anggaran untuk BLT sebagai stimulus. Bagi Melchias, stimulus berupa transfer dana langsung ke masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan dengan penghematan pajak saat perekonomian sedang menghendaki pertumbuhan permintaan domestik dalam jumlah besar saat ini.
Dua pilihan
Jika kita melihat pengalaman China dan Jepang, seperti diulas The Economist, sebenarnya Indonesia sudah bisa memilih. China sejak lama percaya bahwa kombinasi proyek infrastruktur dengan kucuran stimulus secara tunai langsung ke masyarakat miskin bisa menghasilkan dua keuntungan, yakni daya beli di dalam negeri menguat dan infrastruktur semakin kaya.
Adapun Jepang memilih mengarahkan sumber dananya sebagian besar ke proyek infrastruktur dengan daya serap tenaga kerja yang rendah, sejak awal tahun 1990-an. Hasilnya, dana infrastruktur Jepang cenderung terbuang-buang karena tidak fokus, sementara secara kontras di China, mereka bisa menikmati jembatan, jalan, dan jalur kereta api yang jauh lebih baik.
The Economist malah secara vulgar meminta negara-negara di Asia mengurangi ketergantungan perekonomiannya pada ekspor. Sebab, negara-negara tujuan ekspor Asia, baik Uni Eropa maupun Amerika, sudah terpuruk. Penduduk Eropa dan Amerika sudah kehilangan daya beli dan tak sanggup membeli barang-barang dari Asia dalam jumlah mencukupi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi kawasan. Asia diminta berhenti menabung dan mulailah membelanjakan setiap dana yang dimilikinya.
Paul Krugman, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2008, menggambarkan resesi dunia sebagai sebuah suasana sangat suram di mana pasokan barang ada di mana-mana, namun tidak ada permintaan. Pada saat banyak toko dibuka, tetapi tidak ada pembelinya. Atau pada saat pedagang kaki lima menjamur semakin banyak, namun mereka menangis tidak ada yang membelinya. Tentunya Indonesia ingin terhindar dari situasi ini. Semoga!
Rabu, 18 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar