Kamis, 12 Februari 2009
Nilai Tukar Valuta Asing
Beberapa hari lalu penulis menukarkan beberapa lembar mata uang USD ke salah satu bank pemerintah. Ternyata ada dua lembar USD pecahan seratus dolar ditolak karena ada bekas lipatan sedikit.
Ini adalah salah satu contoh bahwa dalam jual beli valuta asing, masyarakat, termasuk wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia, sering mengalami perlakuan yang kurang adil dari pedagang valuta asing atau bank.
Kalau mata uang yang mereka tukarkan dalam kondisi kurang bersih dan licin atau dengan nomor seri tertentu, biasanya nilai tukar yang diberikan lebih rendah daripada kurs yang terjadi di pasar.
Praktik semacam ini dirasakan kurang fair dan dapat menimbulkan citra negatif terhadap industri keuangan atau bahkan terhadap Indonesia. Mengapa hal itu dapat terjadi dan bagaimana mengatasi masalah tersebut?
Sistem Nilai Tukar
Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Sistem Nilai Tukar dan Lalu Lintas Devisa yang berlaku mulai 17 Mei 1999, pada prinsipnya ada tiga macam sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate system), sistem nilai tukar bebas (floating exchange rate system), dan sistem mengambang terkendali (managed floting exchange rate system).
Menurut Pasal 5 UU Nomor 24 sistem nilai tukar ditetapkan oleh pemerintah atas usul Bank Indonesia (BI). Pemerintah menetapkan nilai tukar ini dalam bentuk keputusan presiden. Keputusan presiden sebagai dasar nilai tukar yang dianut sekarang ini belum pernah ada sampai sekarang.
Sejak Agustus 1997 Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang sebagai jawaban pemerintah terhadap krisis nilai tukar yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997. Sejak Agustus 1997 itulah Pemerintah Indonesia meninggalkan sistem nilai tukar mengambang terkendali dan menganut sistem nilai tukar mengambang.
Untuk wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, apa pun sistem nilai tukar yang dianut tidaklah begitu penting asalkan ada kepastian dan keadilan di dalam penerapan sistem yang dianut tersebut.
Pada sistem nilai tukar tetap, nilai tukar satu mata uang terhadap rupiah ditetapkan oleh BI dengan nilai tertentu yang tetap. Kalau di pasar ada perubahan nilai tukar, BI harus melakukan intervensi untuk mengembalikan nilai tukar tetap tersebut.
Sistem ini mensyaratkan cadangan devisa yang cukup untuk setiap saat melakukan intervensi. Misalnya USD1 mempunyai nilai tukar yang tetap sebesar Rp10.000, kalau nilai USD di pasar di atas atau di bawah Rp10.000, BI harus melakukan intervensi untuk mengembalikan nilai tukar USD menjadi Rp10.000.
Pada sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar suatu mata uang diserahkan kepada kekuatan pasar, yaitu penawaran dan permintaan. Perubahan nilai tukar suatu mata uang tidak mewajibkan BI melakukan intervensi.
Pada sistem nilai tukar mengambang terkendali, nilai tukar dapat berfluktuasi pada koridor atau batas yang ditetapkan. Kalau ada perubahan nilai tukar suatu mata uang menyentuh batas yang ditetapkan (intervention band), barulah BI akan melakukan intervensi.
Misalnya USD1 dinilai sama dengan Rp10.000 dan fluktuasi nilai tukar dibolehkan sebesar 10%. Maka, kalau di pasar USD1 harganya naik menjadi Rp11.000 (naik 10%) atau turun menjadi 9.000 (turun 10 %), BI baru melakukan intervensi karena nilai tukar rupiah sudah berfluktuasi menyentuh intervention band.
Praktik yang Merugikan
Dalam perdagangan valuta asing sering terjadi praktik yang kurang menguntungkan masyarakat, termasuk wisatawan yang datang ke Indonesia. Kalau mata uang asing yang ditukarkan agak lusuh atau dengan nomor seri tertentu seperti USD dengan seri C, biasanya nilai tukar yang diberikan lebih rendah.
Hal ini terjadi karena beberapa sebab. Pertama, budaya masyarakat Indonesia untuk menyimpan uang "di bawah bantal" (hoarding) dalam valuta asing yang masih bersih dan tidak lusuh sehingga mereka mempunyai preferensi untuk memiliki uang dalam kondisi yang baik. Kalau menukar uang, mereka enggan menerima uang yang lusuh sehingga bank atau pedagang valuta asing berusaha untuk memiliki dan membeli mata uang asing dalam kondisi baik.
Kalau kondisinya kurang baik, nilai tukarnya menjadi lebih rendah. Kedua, bank dan pedagang valuta asing harus melakukan sendiri repatriasi valuta asing yang dimilikinya karena valuta asing itu tidak dapat dijual ke BI seperti pada waktu lalu ketika BI melakukan repatriasi mata uang asing.
Ketiga, ada kecenderungan memanfaatkan situasi ini untuk mencari keuntungan, bahkan kalau perlu dengan mengatakan kepada nasabah bahwa kebijakan semacam ini ditetapkan oleh BI. Padahal BI tidak pernah menetapkan kebijakan seperti itu. BI pernah mengimbau bank dan pedagang valuta asing untuk tidak melakukan praktik semacam ini, tetapi tidak ada hasilnya. Bahkan Federal Reserve Bank, Bank Sentral Amerika Serikat yang menerbitkan USD, pernah berkirim surat kepada BI yang menyatakan bahwa uang kertas dolar yang jelek itu tetap berlaku.
Praktik perdagangan yang kurang menjamin kepastian ini diperburuk juga oleh banyaknya pedagang valuta asing yang tidak memiliki izin (gelap) di berbagai kota seperti Jakarta, Bali, Batam. Pada waktu yang lalu, Menteri Perhubungan dan Pariwisata Susilo Sudarman pernah mencanangkan Sapta Pesona untuk menggalakkan pariwisata di Indonesia.
Sapta Pesona merupakan kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan berkunjung ke suatu daerah atau wilayah Indonesia. Sapta Pesona terdiri atas tujuh unsur, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah, dan kenangan. Dikhawatirkan praktik perdagangan valuta asing yang kurang adil tersebut menimbulkan citra dan kenangan yang dapat merusak Sapta Pesona yang diupayakan dengan susah payah oleh tiap daerah.
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sering menerima keluhan tentang perlakuan yang kurang adil ini. Bahkan yang mendapat perlakuan diskriminatif itu bukan saja USD, tetapi juga mata uang euro dan dolar Singapura.
Jalan Keluar
Masalah ini merupakan tanggung jawab bersama. Untuk mengatasi masalah tersebut, kita harus mengubah budaya kita yang hanya selalu mau menerima mata uang asing yang bersih dan tidak lusuh.
Kita harus menerima mata uang asing apa adanya. Bukankah uang yang lusuh itu menandakan uang tersebut sudah banyak beredar dan diterima di banyak tempat, karena uang itu asli? Bukankah uang yang bersih dan tidak lusuh belum teruji dalam peredaran dan terdapat kemungkinan uangnya palsu?
Di samping itu, budaya kita untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak wajar melalui perdagangan mata uang asing harus diubah. Seharusnya bank dan pedagang valuta asing tidak membeda-bedakan nilai tukar mata uang asing berdasarkan tampilan fisik dan nomor serinya.
Mungkin BI sebagai otoritas yang berwenang perlu mengambil tindakan yang lebih tegas. Mudah-mudahan dengan perbaikan budaya dan sikap ini, kunjungan wisatawan ke Indonesia dapat ditingkatkan dan akhirnya dapat memajukan perekonomian Indonesia. Semoga.*)
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar